Dalam Undang-undang No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menetapkan bahwa dalam perkara gugat cerai yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah “istri”. Pada pihak
lain “suami” ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian masing-masing
telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami
melalui upaya cerai talak dan jalur istri melalui upaya cerai gugat.
Putusnya Perkawinan
Dalam hukum yang diatur
di Indonesia, perceraian baik permohonan talaq atau perceraian yang diajukan
oleh seorang suami, atau gugatan cerai yang diajukan oleh seorang istri, yang
beragama Islam, diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
Putusnya perkawinan menurut UU No 1 tahun 1974 pasal 38 adalah:
- Karena Kematian.
- Karena Perceraian.
- Atas Keputusan Pengadilan.
Dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan sebagai berikut:
- Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
- Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemampuannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
- Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
- Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (Kompilasi Hukum Islam)
Istri Gugat Cerai/Khulὐ
Di dalam Islam, tidak
mengenal adanya cerai gugat, namun perceraian atas inisiatif istri merupakan
hal yang diatur dalam hukum islam dalam bentuk khulū‘ yaitu perceraian dengan
cara istri membayar kepada suaminya. Sehingga menurut para ulama, menggugurkan
haknya atas nafkah yang diberikan suami selama berumah tangga. Rujukan tentang
khulū‘ ada pada hadis berikut:
Dari Azhar bin Jamil,
dari Abdul Wahhab al-Saqafy, dari Khalid dari Ikrimah, dari Ibn Abbas
bahwasanya istri Sabit bin Qais mendatangi Rasulullah Saw.
Lalu berkata:
“Ya Rasul, saya tidak mencela suami saya tentang perilaku atau agamanya, tetapi saya tidak mau menjadi kafir dalam keislaman karena ingkar terhadapnya, sebab hati saya benar-benar tidak dapat menyukainya.”
Maka Rasul menjawabnya:
“Apakah kamu mau mengembalikan kebun maskawinnya itu? Tidak menjadi masalah ya Rasul, jawab perempuan itu. Lalu dipanggillah Sabit dan Rasulullah berkata: “terimalah kembali kebunmu dan ceraikanlah istrimu”.
Dalam gugatan cerai yang
diajukan oleh pihak istri sebagai Penggugat, terdapat tuntutan atau petitum
yang tidak jarang diluar ketentuan yang diatur dalam perundangan seperti
meminta nafkah iddah ataupun mut’ah. Seorang istri yang mengajukan gugatan
cerai, menurut beberapa ulama, tidak mendapatkan hak nafkah iddah maupun mut’ah.
Iddah dan Mut’ah
Pemberian nafkah iddah
dan mut’ah bagi seorang istri yang mengajukan gugat cerai, belum diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Kewajiban
pemberian mut’ah dan iddah hanya diberikan oleh seorang suami yang menceraikan
istrinya seperti yang diamanatkan pada pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal
149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam:
- Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul.
- Memberi nafkah dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
- Melunaskan mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qabla al dukhul.
- Memberikan biaya hadhonah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
Sehingga dalam ammar
putusan, tidak disebutkan kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah iddah
dan mut’ah bagi istri yang menggugat cerai suaminya, selain nafkah anak yang
sudah menjadi kewajiban seorang bapak, yang diatur dalam pasal 41 (b)
Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 yang berbunyi “bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;
bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.
Kesimpulan
Jika istri selaku
Penggugat maka sudah dipastikan Pengadilan Agama jika mengabulkan gugatan cerai
tersebut tidak akan memerintahkan suami untuk memberi nafkah iddah dan mut’ah.
Pada praktiknya majelis hakim Pengadilan Agama hanya menyatakan perkawinan
putus (talak satu ba’in sugro) dan nafkah anak (hadhanah).