Konten [Tampil]
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN Gambaran Diri
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN
Universitas Teknologi Yogyakarta
Reformasi pendidikan di tanah air
terjadi sejak ditetapkan ketentuan perundang-undangan. Diawali UU nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dilengkapi dengan PP nomor 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UU nomor 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, PerMendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
PerMendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan,
PerMendiknas nomor 24 tahun 2006 tentang Standar Proses, PerMendiknas nomor 18
tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru, serta PerMendiknas nomor 13 tentang
Sertifikasi Kepala Sekolah. Ketentuan perundang-undangan tersebut merupakan
hajat publik untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk karakter warga masyarakat Indonesia yang
bermartabat.
Standar Nasional Pendidikan
menetapkan 8 standar, yaitu: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi
lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan
prasarana, (6) standar pengelola, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar
penilaian pendidikan. Tenaga Kependidikan di tingkat satuan pendidikan terdiri
atas: Kepala TK/RA, Kepala SD/MI, Kepala SMP/MTs, Kepala SMA/MA, Kepala
SMK/MAK, Kepala SDLB/SMPLB, dan SMALB, tenaga administrasi, tenaga
perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan.
Standar Kompetensi Kepala Sekolah
meliputi (1) kompetensi kepribadian, (2) kompetensi manajerial, (3) kompetensi
supervisi, dan (4) kompetensi sosial. Sub-Kompetensi kepribadian terdiri atas:
(1) memiliki integritas sebagai pemimpin, (2) memiliki keinginan yang kuat
dalam mengembangkan diri sebagai Kepala Sekolah, (3) bersikap terbuka dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi, (4) mengendalikan diri dalam menghadapi
masalah sebagai Kepala Sekolah, dan (5) memiliki bakat dan minat jabatan
sebagai pemimpin pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan mutu
kinerja Kepala Sekolah senantiasa diselenggarakan DIKLAT berbasis kompetensi.
Untuk mendukung kompetensi kepribadian Kepala Sekolah maka disiapkan bimbingan
teknis Diklat Pengembangan Kepribadian. Diklat Pengembangan Kepribadian disusun
menjadi 4 bagian, yakni (1) Psikologi Kepribadian tinjauan Teori dan Praktek,
(2) Paradigma Psikologi Kepribadian: Psikoanalitik dan Trait, (3) Paradigma
Psikologi Kepribadian: Kognitif dan Behavioristik, dan (4) Instrumen
Pengembangan Diri.
B. Konsep
Psikologi Kepribadian
- 1. Latar Psikologi Kepribadian
Ilmu Psikologi lahir pada akhir abad
18, salah satu topik yang menarik untuk dikaji adalah kepribadian. Sebagai
ilmu, psikologi lahir, berusaha memahami manusia seutuhnya (totality), dapat
dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori Psikologi Kepribadian
melahirkan konsep-konsep, seperti dinamika tingkah laku, pola tingkah laku,
model tingkah laku, dan perkembangan tingkah laku, dalam rangka mengurai
kompleksitas tingkah laku manusia. Ahli-ahli psikologi kepribadian melakukan
riset yang cermat untuk menguji konsep-konsep itu, memakai kaidah-kaidah ilmiah
agar memperoleh teori yang handal, yakni teori yang dapat mengemban fungsi
deskriptif dan prediktif dalam kerangka pendekatan psikologik.
Teori psikologi kepribadian bersifat
deskriptif dalam rangka menggambarkan organisasi perilaku secara sistematis dan
mudah dipahami. Tidak satupun tingkah laku terjadi begitu saja tanpa alasan,
pasti ada faktor-faktor antiseden, sebab musabab, pendorong, motivator, saran,
tujuan, dan latar belakangnya. Faktor-faktor tersebut harus ditempatkan pada
suatu kerangka saling berhubungan yang bermakna, agar mendapat tinjauan
analitik dan cermat ketika dilakukan pemerian tingkah laku dan agar perian
dilakukan memakai sistematika yang ajeg dan komunikatif. Sifat prediktif teori
kepribadian pada sisi lain justru mendapat bukti bahwa konsep-konsepnya teruji
kebenarannya. Sekalipun tidak ada prediksi yang benar seratus persen, tetapi
psikologi kepribadian dapat membantu proses pengambilan keputusan. Nilai
prediktif dapat menjadi handal bila secara terus menerus dilakukan riset dalam
psikologi kepribadian.
Kepribadian adalah domain kajian
psikologi; pemahaman tingkah laku—pikiran, perasaan, dan tindakan manusia,
memakai sitemik, metode, dan disiplin ilmu yang lain, seperti biologi, sejarah,
ekonomi. Teori psikologi kepribadian mempelajari individu secara spesifik,
yakni siapa dia, apa yang dimilikinya, dan apa yang dikerjakannya.
Kepribadian merupakan bagian jiwa
yang membangun keberadaan manusia menjadi suatu kesatuan (totalitas), tidak
terpisah-pisah fungsinya. Memahami kepribadian berarti memahami aku, diri, self
atau memahami manusia seutuhnya. Berkaitan dengan memahami kepribadian
berarti pemahaman dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan untuk mengembangkan
teori itu sendiri. Para pakar kepribadian meyakini bahwa paradigma yang
berbeda-beda mempengaruhi secara sistemik seluruh pola pemikirannya tentang
kepribadian manusia. Paradigma yang berbeda yang dikembangkan oleh para ahli
akan menghasilkan teori yang berbeda, tidak saling berhubungan bahkan saling
berlawanan. Teori-teori kepribadian dikelompokan berdasarkan paradigma yang
digunakan untuk mengembangkannya. Ada emapt paradigma yang banyak digunakan
sebagai acuan memahami kepribadian individu.
- 2. Paradigma Psikoanalitik
Dua asumsi dasar bahwa manusia
adalah bagian dari dunia binatang dan manusia adalah bagian dari sistem enerji.
Asumsi ke dua dapat dipandang sebagai kelanjutan asumsi pertama, sebagai
binantang manusia adalah organisme hidup yang membutuhkan enerji dan hidup
berarti mampu mengelola enerji yang dimilikinya.
Kunci utama memahami manusia menurut
paradigma Psikoanalitik adalah mengenali insting-insting seksual dan
agresi—dorongan biologik yang membutuhkan kepuasan. Insting yang bersifat
heriditer ini berkembang sejalan dengan pertumbuhan usia, dalam mana
perkembangan biologik menyediakan bagian-bagian tubuh tertentu untuk menjadi
pusat sensasi kepuasan. Sepanjang hidup seseorang akan menghadapi gangguan,
mengalami konflik yang mengganggu pencapaian kepuasan. Semua penyebab
ketidakpuasan merupakan metafora dari virus pengganggu yang harus dieliminasi,
jika individu ingin memperoleh kembali hidup dalam kepuasan—hidup sehat.
Enerji psikis oleh manusia harus
dimanfaatkan untuk sesuatu hal yang positif, untuk kemaslahatan diri. Manakala
enerji psikis dipakai secara salah maka manusia tidak memperoleh kepuasan
secara wajar, sehingga muncullah simpton-simpton neurotik. Psikoanalitik
mencoba menjelaskan bagaimana membebaskan enerji yang digunakan oleh simpton
neurotik, mengembalikan jalur enerji instingtif ke aktivitas yang dihekendaki.
Teori Psikoanalitik dikembangkan
pertamakali oleh Sigmund Freud. Belakangan banyak pengikutnya yang
mengembangkan teori psikologi kepribadiannya sendiri. Para pengikutnya di
ataranya adalah: C.G.Yung, A. Adler, Anna Freud, Karen Horney, Eric Fromm, H.S.
Sullivan. Setiap teori memerikan wujud kepribadian, bagaimana struktur,
dinamika, dan perkembangan elemen-elemen pendukungnya. Kebanyakan pakar Psikoanalitik
berlatar profesi medik (Psikiater), maka mereka menempatkan diri sebagai
terapis, teknik yang dipakai catharsis dan free association
keduanya dipandang sebagai ”pil ajaib” untuk menyembuhkan penyakit psikis.
- 3. Paradigma Trait
Paradigma Trait ini berbeda jauh
dengan Psikoanalitik, berkembang menjadi Psikologi Eksperimen. Pakar Psikologi
Eksperimen adalah Wilhelm Wundt. Psikologi Eksperimen memandang psikologi
adalah ilmu yang mempelajari kesadaran. Wundt mencoba menemukan elemen dasar
dari pengalaman, memakai teknik-teknik yang semula digunakan untuk eksperimen
fisiologi dan pengindraan, dan teknik introspeksi. Menurutnya, untuk memahami
tingkah laku harus diketahui terlebih dahulu unsur-unsur terkecil yang
mendukung terjadinya tingkah laku di dalam diri manusia. Pendekatan ini yang
pada awalnya berkembang dan dikenal sebagai Psikologi Strukturalisme yang pada
akhirnya berkembang luas di awal sejarah psikologi
Pada perkembangan berikutnya
strukturalisme dipandang tidak pragmatis dan metode introspeksi eksperimen
terbukti kurang obyektif. Akhirnya muncul pemikiran baru yaitu bidang Psikologi
Fungsionalisme, Psikologi Gestalt, dan Psikologi Behaviorime.
Tradisi Fungsionalisme menguraikan
tentang habit, ingatan, berfikir, motivasi, dan fungsi jiwa yang lain. William
James memandang bahwa manusia adalah kumpulan potensi-potensi dan kepribadian
adalah aktualisasi potensi-potensi—bagaimana potensi digunakan dalam kehidupan.
Pemahaman dan pengukuran besarnya potensi manusia menjadi domain kajian tradisi
Psikologi Pengukuran. Tes psikologi mengukur aktualisasi suatu potensi kemudian
menyimpulkan bagian dari potensi yang sudah difungsikan walaupun bagian yang
masih laten. Metode kuesioner untuk mempelajari perbedaan individu yang
dikembangkan oleh psikologi pengukuran yang tidak terpisahkan dengan psikologi
kepribadian.
Teori Trait dipelopori oleh William
James, Murray, Abraham Maslow, R.Cattel, Eysenck, Allport, dan yang lainnya.
Muara teori kepribadian adalah pengenalan terhadap model-model fungsi
kepribadian dalam kehidupan. Cattel dan Eysenck memakai analisis faktor untuk
menemukan faktor yang saling asing dan Murray memakai pendekatan
eklektik-interdisiplin dari metoda
observasi-interview-kuesioner-proyektif-eksperimen untuk menemukan jenis-jenis need.
Kepribadian diamati dalam kaitannnya dengan fungsinya terhadap lingkungan.
Paradigma Trait lebih banyak membahas prediksi-prediksi tingkah laku. Nilai
praktis dari psikologi kepribadian menjadi sangat tinggi di bidang pendidikan,
industri, militer, dan lainnya, dalam arti memprediksikan keberhasilan individu
dalam bidang tertentu, memilih atau menempatkan seorang yang tepat pada tempat
yang tepat pula.
- 4. Paradigma Kognitif
Gestalt adalah kesatuan,
keseluruhan, pola konfigurasi. Pengalaman manusia selalu membentuk kesatuan
yang memiliki pola dan konfigurasi tertentu. Max Wertheimer membangun teori
Gestalt dari temuannya phy nomenon: ilusi bahwa mobil yang kita naiki
sedang berhenti terasa bergerak ketika mobil di sebelah kita bergerak. Itu pertanda
atau bukti bahwa pengalaman baru sesudah diterima indra tidak dipersepsi apa
adanya, tetapi digabung lebih dahulu dengan pengalaman lama. Teori Gestalt
berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia sebagai pemeroses informasi.
Paradigma kognitif menggunakan
kontekstualisme sebagai akar metafora. Konsep dasarnya adalah: keyakinan dan
pikiran seseorang menjadi kunci memahami tingkah laku. Ingatan, pikiran, dan
keyakinan ini mempunyai referensi khusus terhadap dunia. Persepsi adalah hasil
kerja simultan antara dunia (stimulus) dengan pemerhati (kecenderungan untuk
memproleh gestalt yang bagus).
Dunia pendidikan dan sekolah
terbantu oleh teori Gestalt, yang secara intensif meneliti bagaimana pikiran,
motivasi, perasaan, dan ingatan bekerja dalam kesatuan menangkap
sensasi-sensasi baru, bagaimana seseorang mempelajari pengalaman baru. Para
pakar kepribadian meyakini paradigma kognitif seperti: Kurt Lewin, George
Kelly, Carl Rogers, Mechael dan Bandura, cenderung akrab dengan filsafat
humanisme. Carl Rogers berpendapat bahwa yang paling tahu tentang diri
seseorang adalah diri orang itu sendiri. Setiap orang memiliki kemampuan untuk
memilih yang terbaik bagi dirinya, dan jika terjadi kesalahan tingkah laku,
hanya si penderita sendirilah yang dapat mengkoresinya. Proses itu dilakukan di
tengah-tengah lingkungan yang berperan sebagai fasilitator, sumber informasi,
dan penyedia alternatif. Teknik empathy dan unconditioning positive
regard dikembangkan sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika membantu mengatasi tingkah laku yang tidak dikehendaki, penekanannya
bukan sekadar mengatakan kepada orang itu bahwa ada masalah dengan pikirannya,
tetapi paradigma kognitif berusaha mengungkapkan bahwa cara pandang seseorang
mencerminkan bagaimana dunia itu bergerak dan cara bagaimana otaknya bekerja.
Tetapi kognitif berusaha mendorong orang untuk mengubah keberadaannya di
dunianya; mendorong orang untuk berpikir yang baik tentang dirinya sendiri, di
samping mendorong orang untuk memilih lingkungan yang tepat dengan dirinya.
- 5. Paradigma Behaviorisme
Kondisioning meyakini bahwa manusia
adalah mesin. Tingkah laku manusia itu fungsi stimulus, artinya, diterminan
tingkah laku tidak berada di dalam diri manusia tetapi berada di lingkungan.
Metafora mekanis semacam itu mungkin dapat dimasukkan ke dalam semua paradigma,
walaupun yang paling cocok adalah masuk ke dalam psikologi eksperimen,
khususnya behaviorisme. Pendekatan Psikoanalitik bersifat mekanistik karena
memandang tingkah laku manusia fungsi dari pengalaman masa lalu. Artinya
tingkah laku orang dewasa sekarang bukan ditentukan oleh
sistuasi—dorongan—pertimbangan rasional sekarang, tetapi ditentukan oleh
pengalaman masa kecil di bawah 5 tahun. Pendekatan Trait dan Kognitif juga
memakai jargon sebab-akibat, yang berarti merefleksikan model berpikir
mekanisme.
Teori Behaviorisme lebih dekat
dengan teori belajar. Pakar behaviorisme berusaha menjelaskan bagaimana manusia
berinteraksi dengan lingkungan dan bagaimana tingkah laku dapat berubah sebagai
dampak dari interaksi itu. Perubahan tingkah laku, apakah itu pengembangan
tingkah laku yang lama atau perolehan tingkah laku baru, semuanya di sebut belajar.
Teori belajar menjadi teori psikologi kepribadian ketika yang dipelajari
tingkah laku yang kompleks, yang repertoirnya membutuhkan waktu cukup panjang.
Pavlov, Skinner, Watson dalam
berbagai eksperimen mencoba menunjukkan betapa besarnya pengaruh lingkungan
terhadap tingkah laku. Semua tingkah laku termasuk tingkah laku yang tidak
dikehendaki diperoleh melalui belajar, dan mengubah tingkah laku itu dilakukan
juga dengan mempelajari tingkah laku baru sebagai pengganti. Faktor pendorong
agar orang bersedia bertingkah laku mengikuti kemauan lingkungan, di sebut reinforcement.
Modifikasi tingkah laku pada paradigma behaviorisme tidak lain dan tidak
bukan adalah management reinforcement. Pada anak-anak dan orang dewasa
yang kemampuan kecerdasan dan berpikirnya rendah, pengubahan tingkah laku
dengan menajemen reinforcement menjadi pilihan yang lebih luas dipakai.
C.
Pengertian Kepribadian
Kepribadian merupakan terjemahan
dari bahasa inggris personality. Kata Personality sendiri berasal
dari bahasa latin pesona, yang berarti topeng yang digunakan oleh para
aktor dalam suatu permainan atau pertunjukan. Pada saat pertunjukan para aktor
tidak menampilkan kepribadian yang sesungguhnya—menyembunyikan kepribadiaannya
yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dari topeng yang digunakannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kata
kepribadian digunakan untuk menggambarkan (1) identitas diri, jati diri
seseorang, seperti: “Saya seorang yang pandai bergaul dengan siapa saja”, atau
“Saya seorang pendiam”, (2) kesan seseorang tentang diri anda atau orang lain,
seperti “Dia agresif”, atau “Dia jujur”, dan (3) fungsi-fungsi kepribadian yang
sehat atau bermasalah, seperti: “Dia baik”, atau “Dia pendendam”.Beberapa
istilah dalam teori psikologi kepribadian diberi makna yabg berbeda-beda.
Istilah yang berdekatan maknanya antara lain:
- Personality (kepribadian): penggambaran tingkah laku secara deskriptif tanpa memberi nilai (devaluative).
- Character (karakter): penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai (benar-salah, baik-buruk) baik secara eksplisit maupun implisit.
- Dispotition (watak): karakter yang telah lama dimiliki dan sampai sekarang belum berubah
- Temperamen (temperamen): kepribadian yang berkaitan erat dengan determinan biologik atau fisiologik, disposisi hereditas.
- Traits (sifat): respon yang senada (sama) terhadap sekelompok stimuli yang mirip, berlangsung dalam kurun waktu yang (relatif) lama.
- Type–attribute (ciri): mirip dengan sifat, namun dalam kelompok stimuli yang lebih terbatas.
- Habit: kebiasaan respon yang sama cenderung berulang untuk stimulus yang sama pula.
Untuk memperoleh pemahaman tentang
kepribadian, berikut dikemukakan beberapa pengertian dari para ahli.
- Hall dan Lindzey mengemukakan bahwa secara populer, kepribadian dapat diartikan sebagai (1) keterampilan atau kecakapan sosial (social skill), dan (2) kesan yang paling menonjol, yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap orang lain (seperti orang yang dikesani sebagai agresif, atau pendiam).
- Woodworth mengemukakan bahwa kepribadian merupakan “kualitas tingkah laku total individu”.
- Stern mengemukakan bahwa kepribadian adalah kehidupan seseorang secara keseluruhan, individual, unik, usaha mencapai tujuan, kemampuannya bertahan dan membuka diri, kemampuan memperoleh pengalaman.
- Guilford mengemukakan bahwa kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari seseorang.
- Pervin mengemukakan kepribadian adalah seluruh karakteristik seseorang atau sifat umum banyak orang yang mengakibatkan pola yang menetap dalam merespon suatu situasi.
- Maddy atau Burt mengemukakan bahwa kepribadian adalah seperangkat karakteristik dan kecenderungan yang stabil yang menentukan keumuman dan perbedaan tingkah laku psikologik (berpikir, perasaan, dan perbuatan) dari seseorang dalam waktu yang panjang dan tidak dapat difahami secara sederhana sebagai hasil dari tekanan sosial dan tekanan biologik saat itu.
- Dashiell mengartikannya sebagai “gambaran total tentang tingkah laku individu yang terorganisasi”
- Allport mengemukakan lima tipe definisi kepribadian sebagai berikut:
- Rag-Bag (omnibus), yang merumuskan kepribadiannya dengan cara enumeasi (menjumlahkan). Contohnya definisi dari Morton Prince, yaitu “kepribadian merupakan sejumlah disposisi biologis, impuls-impuls, kecenderungan-kecenderungan, dan instink-instink bawaan, dan disposisi lain yang diperoleh melalui pengalaman.
- Integratif dan Konfiguratif, yang menekankan kepada organisasi cir-ciri pribadi, seperti definisi dari Warren dan Carmichaeles “kepribadian sebagai organisasi tentang pribadi manusia atau individu pada setiap tahap perkembangan”.
- Hirarchis, seperti yang dikemukakan oleh Wlliam James, yaitu kepribadian itu dinyatakan dalam empat pribadi (selves): material self, social self, spiritual self, dan puriego atau self of self.
- Adjustment, seperti definisi dan kempfis, yaitu sebagai “integrasi dari sistem kebiasaan individu dalam menyesuaikan dirinya dalam lingkungannya”
- Distinctiveness (Uniqueness), seperti yang dikemukakan oleh Shoen, yaitu “sistem disposisi dan kebiasaan yang membedakan antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam satu kelompok yang sama.
Selanjutnya Allport mengemukakan
pendapatnya sendiri tentang pengertian kepribadian ini, yaitu “Personality is
the dinamic organization within the individual of those psychophysical systems
that determine his unique adjustment to his environtment”. Maksudnya adalah
“kepribadian merupakan organisasi yang dinamis dalam individu tentang sistem
psikofisik yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungannya”.
Pengertian tersebut dapat diartikan
sebagai berikut.
- Dynamic, merujuk kepada perubahan kualitas perilaku (karakteristik) individu, dari waktu ke waktu, atau dari situasi ke situasi.
- Organization, yang menekankan pemolaan bagian-bagian struktur kepribadian yang independen, yang masing-masing bagian tersebut mempunyai hubungan khusus satu sama lainnya. Ini menunjukkan bahwa kepribadian itu bukan kumpulan sifat-sifat, dalam arti satu sifat ditambah dengan yang lainnya, melainkan keterkaitan antara sifat-sifat tersebut, yang satu sama lainnya saling berhubungan atau berinterelasi.
- Psychophysical Systems, yang terdiri atas kebiasaan, sikap, emosi, motif, keyakinan, yang kesemuanya merupakan aspek psikis, tetapi mempunyai dasar fisik dalam diri individu, seperti: syaraf, kelenjar, atau tubuh individu secara keseluruhan. Sistem psikofisik ini meskipun mempunyai fondasi pembawaan, namun dalam perkembangannya lebih dipengaruhi oleh hasil belajar, atau diperoleh melalui pengalaman.
- Determine, yang menunjuk pada peranan motivasional sistem psikofisik. Dalam diri individu, sistem ini mendasari kegiatan-kegiatan yang khas, yang mempengaruhi bentuk-bentuk. Sikap, keyakinan, kebiasaan, atau elemen-elemen sistem psikofisik lainnya muncul melalui sistem stimulus, baik dari lingkungan, maupun dari dalam diri individu sendiri.
- Unique, yang menunjuk pada keunikan atau keragaman tingkah laku individu sebagai ekspresi dari pola sistem psikofisiknya. Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, tidak ada reaksi atau respon yang sama dari dua orang, meskipun kembar identik.
Berdasarkan pengerian teori dan
kepribadian di atas maka, istilah teori kepribadian dapat diartikan sebagai
“Seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia beserta
definisi-definisi empirisnya.
Mengenai asumsi ini dapat diberikan
contohnya sebagai berikut:
- Semua tingkahlaku dilatarbelakangi motivasi
- Kecemasan yang tinggi menyebabkan penurunan mutu kegiatan bekerja atau belajar
- Perkembangan (psikofisik) individu dipengaruhi oleh pembawaan, lingkungan, dan kematangan. Asumsi ini sering dinyatakan dalam formula
- P (I)= F (H.E.T/M), dimana P= Person, I= Individu, F= Function, H= Heredity (pembawaan/keturunan), E= Environment (lingkungan), T= Time, dan M= Maturation (kematangan).
Menurut Pervin teori kepribadian itu
merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “what, how, dan why”.
Pertanyaan “what” terkait dengan karakteristik seseorang dan bagaimana
karakteristik tersebut diorganisasikan dalam hubungannya dengan orang lain.
Seperti pertanyaan “Apakah dia jujur, ajeg, dan memiliki kebutuhan berprestasi
yang tinggi?” Pertanyaan “how” merujuk kepada fakto-faktor yang mempengaruhi
kepribadian, seperti “Bagaimana faktor genetika dan lingkungan berinteraksi
dalam mempengaruhi kepribadian?” Sementara pertanyaan “why” merujuk kepada
faktor motivasional individu berperilaku, seperti pertanyaan “Mengapa seseorang
mengalami depresi?” Jawabannya mungkin, karena dia dihina orang, kehilangan
orang yang dikasihinya, atau karena dia tidak lulus ujian.
Selanjutnya ia mengemukakan hakikat
kepribadian manusia, yaitu sebagai berikut.
- Manusia merupakan makhluk yang unik dibandingkan dengan makhluk (species) lainnya, seperti hewan. Dibandingkan dengan hewan, manusia lebih tergantung kepada faktor psikologis, ia kurang tergantung kepada faktor biologis. Manusia mempunyai kemampuan berfikir konseptual, dan berbahasa atau berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol, sedangkan hewan tidak memilikinya. Dengan kata lain yang membedakan manusia dan hewan adalah kemampuan berbahasa. Namun dalam hal kematangan, manusia lebih lambat dibandingkan dengan hewan.
- Tingkah laku manusia bersifat kompleks. Untuk memahami kepribadian harus mampu mengapresiasi tentang kompleksitas tingkah laku manusia. Seringkali terjadi satu perilaku muncul disebabkan oleh beberapa faktor, seperti masalah “depresi” yang telah dikemukakan di atas. Satu perilaku yang sama pada beberapa orang, mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda-beda, seperti: Surini mengalami stress, karena dia takut tidak lulus ujian; sementara Budi mengalami stress, karena di PHK (diputus hubungan kerja) oleh kantornya.
- Manusia tidak selalu menyadari atau dapat mengontrol faktor-faktor yang menentukan tingkah lakunya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam suatu saat manusia tidak dapat menjelaskan mengapa melakukan sesuatu, atau akan melakukan sesuatu dengan suatu cara yang sebenarnya berlawanan dengan keinginannya sendiri.
D. Pola
Kepribadian
Elizabeth B. Hurlock (1978)
mengemukakan bahwa pola kepribadian merupakan suatu penyatuan struktur yang
multidimensi yang terdiri atas “self-concept” sebagai inti atau pusat
gravitasi kepribadian dan “traits” sebagai struktur yang
mengintegrasikan kecenderungan pola-pola respon. Setiap pola itu dibahas dalam
paparan berikut.
1. Self-concept
(Concept of self )
Self-concept ini dapat diartikan sebagai (a) persepsi, keyakinan,
perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya sendiri; (b) kualitas penyikapan
individu tentang dirinya sendiri; dan (c) suatu sistem pemaknaan individu
tentang dirinya sendiri dan pandangan orang lain tentang dirinya.
Self-concept ini memiliki tiga komponen, yaitu: (a) perceptual atau
physical self-concept, citra seseotang tentang penampilan dirinya
(kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan, keindahan, atau
kemolekan tubuhnya; (b) conceptual atau psychological self-concept,
konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan ketidakmampuan (kelemahan)
dirinya, dan masa depannya, serta meliputi kualitas penyesuaian hidupnya:
honesty, self-confidence, independence, dan courage; dan (c) attitudinal,
yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya, sikapnya terhadap
keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya terhadap keberhargaan,
kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah masuk masa dewasa,
komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek: keyakinan, nilai-nilai,
idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of life hidupnya.
Dilihat dari jenisnya, self-concept
ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu sebagai berikut.
a. The
Basic Self-concept. Jane menyebutnya “real-self”, yaitu konsep seseorang
tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang
tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status
dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
b. The
Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki “self-concept”
yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya.
“self-concept” ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan.
Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan
(emosi), atau pengalaman yang lalu.
c. The
Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu
mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun
tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”.
Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya “naughty”
(nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal.
Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok
sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat.
Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai
oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian
guru, dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan
menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant
others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan
mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
d. The
Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang
apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang
seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik
maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara
konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat
berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang
sudah masuk usia dewasa).
Perkembangan self-concept
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tertera pada gambar berikut.
Diagram Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Self-concept
2. raits (Sifat-sifat)
Traits ini berfungsi untuk
mengintegrasikan kebiasaan, sikap, dan keterampilan kepada pola-pola berpikir,
merasa, dan bertindak. Sementara konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan
kapasitas-kapasitas psikologis dan prakarsa-prakarsa kegiatan. Traits dapat
diartikan sebagai aspek atau dimensi kepribadian yang terkait dengan
karakteristik respon atau reaksi seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam
rangka menyesuaikan dirinya secara khas. Dapat diartikan juga sebagai
kecenderungan yang dipelajari untuk mereaksi rangsangan dari lingkungan.
Deskripsi dan definisi traits di atas menggambarkan bahwa traits
merupakan kecenderungan-kecenderungan yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi
situasi dan (b) mereaksi situasi dengan cara-cara tertentu.
Setiap traits mempunyai tiga
karakteristik: (a) Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness,
yaitu bahwa trait itu ada yang disenangi (liked) dan ada yang tidak
disenangi (disliked), sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan
atau ketidakharmonisan, kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits
tersebut. Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih
sayang, peduli, dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti:
egois, tidak sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang
terhadap traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency,
artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara
ajeg.
Sama halnya dengan “self-concept”,
“traits” pun dalam perkem-bangannya dipengaruhi oleh faktor hereditas
dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh orang tua,
dan (b) imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa trait
dipelajari secara “trial dan error”, artinya belajar anak lebih bersifat
kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak
menangis sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan
yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya
membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi
perbuatan tersebut. Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya
kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti “unjuk
rasa” sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan
atau menuntut kenaikan gaju kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan aksi
protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh
perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk
mengintimidasi para pengambil kebijakan.
Anak juga belajar (memahami) bahwa traits
atau sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh
semua kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap
hak-hak orang lain, disiplin, tanggungjawab, dan sikap apresiatif.
E.
Perubahan Kepribadian
Meskipun kepribadian seseorang itu
relatif konstan, namun dalam kenyataan sering ditemukan bahwa perubahan
kepribadian itu dapat dan mungkin terjadi. Perubahan itu terjadi dipengaruhi
oleh faktor gangguan fisik dan lingkungan.
Faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan kepribadian di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Faktor
Fisik, seperti: gangguan otak, kurang gizi (malnutrisi) mengkonsumsi
obat-obat terlarang (NAPZA atau NARKOBA), minuman keras, dan gangguan organik
(sakit atau kecelakaan).
b. Faktor
Lingkungan Sosial Budaya, seperti: krisis politik, ekonomi, moral, dan
keamanan dapat menyebabkan terjadinya masalah pribadi (stress, depresi) dan
masalah sosial (pengangguran, premanisme, dan kriminalitas).
c. Faktor
Diri Sendiri, seperti: tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan),
dan identifikasi atau imitasi tehadap orang lain yang berkepribadian
menyimpang.
Secara garis besar faktor yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian, yaitu hereditas (genetika) dan
lingkungan (environment).
- 1. Faktor Genetika (Pembawaan)
Perpaduan bawaan ayah dan ibu baik
fisik maupun psikis akan menentukan potensi-potensi hereditas anak. Beberapa
riset tentang perkembangan pranatal (sebelum kelahiran atau masa dalam
kandungan) menunjukkan bahwa kemampuan menyesuaikan diri terhadap kehidupan
setelah kelahiran (post natal) bersumber pada saat konsepsi. Pada saat dalam
kandungan dipandang sebagai masa (periode) kritis perkembangan kepribadian,
sebab bukan saja sebagai masa pembentukan pola-pola kepribadian, tetapi juga
sebagai masa pembentukan kemampuan-kemampuan yang menentukan jenis penyesuaian
individu terhadap kehidupan setelah kelahiran.
Pengaruh pewarisan orang tua
terhadap kepribadian, sebenarnya tidak secara langsung, karena yang dipengaruhi
genetikan secara langsung adalah (a) kualitas sistem syarat, (b) keseimbangan
biokimia tubuh, dan (c) struktur tubuh.Lebih lanjut ditemukenali bahwa fungsi
hereditas kaitannya dengan perkembangan kepribadian adalah: (a) sebagai sumber
bahan mentah (raw materials) kepribadian seperti: fisik, inteligensi,
dan temperamen dan (b) membatasi kondisi lingkungannya sangat kondusif,
perkembangan kepribadian (sekalipun perkembangan kepribadian itu tidak dapat
melebihi kapasitas atau potensi heredita) dan mempengaruhi keunikan
kepribadian.
Sebagaimana dikemukakan oleh Cattel,
dkk. bahwa kemampuan belajar dan penyesuaian diri individu dibatasi oleh
sifat-sifat yang inheren dalam organisme individu itu sendiri. Misalnya fisik
(perawakan, energi, kekuatan, dan kemenarikan) dan kapasitas intelektual
(cerdas, normal, atau terbelakang). Walaupun begitu, batas-batas perkembangan
kepribadian, bagaimanapun lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Misalnya, seorang anak laki-laki
yang tubuhnya kurus, ia akan mengembangkan konsep diri yang kurang nyaman
(negatif), bila ia berkembang dalam lingkungan sosial yang sangat menghargai
nilai-nilai keberhasilan atletik dan merendahkan kesuksesan dalam bidang lain
yang diperolehnya. Demikian seorang anak perempuan yang wajahnya kurang menarik,
ia akan merasa rendah diri bila berada di lingkungan keluarga atau lingkungan
sosial yang sangat menghargai perempuan dari segi kecantikannya.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa
hereditas mempengaruhi konsep diri individu sebagai dasar individualitasnya
(keunikannya) sehingga tidak ada dua orang yang mempunyai pola-pola kepribadian
yang sama, sekalipun kembar identik. Menurut C.S. Hall, dimensi-dimensi
temperamen: emosionalitas, aktivitas, agresivitas, dan reaktivitas bersumber
dari gen demikian halnya dengan inteligensi.
Berikut ini studi tetang pengaruh
hereditas terhadap kepribadian yang dilakuakan oleh Pervin (dalam Yusuf, 2002).
Keragaman konstitusi (postur) tubuh, bahwa karakteristik fisik berhubungan
dengan kepribadian. Hippocrates meyakini bahwa temperamen manusia dapt
dijelaskan berdasarkan cairan-cairan tubuhnya. Kretschemer mengklasifikasikan
postur tubuh individu pada tiga tipe utama,dan satu tipe campuran.
Tipe Piknis (stenis): pendek,
gemuk, perut besar, dada dan bahunya bulat. Tipe Asthenis (leptosom):
tinggi dan ramping, perut kecil, dan bahu sempit. Tipe Atletik: postur tubuhnya
harmonis (tegap, bahu lebar, perut kuat, otot kuat). Tipe Displastis: tipe
penyimpangan dari ketiga bentuk di atas
Tipe-tipe tersebut berkaitan dengan:
(a) gangguan mental, seperti tipe piknis berhubungan dengan manik depresif dan
asthenis dengan schizophrenia, dan (b) karakteristik individu yang normal
seperti tipe piknis mempunyai sifat-sifat: bersahabat dan tenang sedangkan
asthenis bersifat serius, tenang, dan senang menyendiri.
Sebagaimana Sheldon telah
mengklasifikasikan postur tubuh manusia adalah: endomorphy, mesomorphy,
dan ectomorphy. Klasifikasi ini didasarkan pada hasil pengukuran
terhadap aspek-aspek struktural individu yang diambil dari 4000 foto pria telanjang
dari posisi depan, belakang, dan samping. Dalam mengembangkan skema untuk
mengukur temperamen Sheldon menyusun 650 sifat-sifat menjadi 50 sifat dipilih
sebagai dasar penilaian terhadap 33 orang pria yang diwawancarai secara
intensif. Hasilnya ia mengkategorikan 3 temperamen, yaitu: viscerotonia,
somatotonia, dan cerebrotonia.
Tipologi temperamen oleh Sheldon:
SOMATOTIPE
|
TEMPERAMEN
|
SIFAT-SIFAT
|
(pendek, gemuk)
|
viscerotonia
|
Tenang, pandai bergaul, senang
bercinta, gemar makan, tidur nyenyak
|
(tubuh harmonis)
|
somatotonia
|
Aktif, asertif, kompetetif, teguh,
dan agresif
|
3. Ectomorp= astenis
(tinggi, kurus)
|
cerebrotonia
|
Introvert (senang menyendiri),
menahan diri, peragu, kurang berani bergaul dengan orang banyak,
(sociophobia), kurang berani berbicara di depan orang banyak
|
Tipologi temperamen oleh Galenius:
TEMPERAMEN
|
SIFAT-SIFAT
|
1. Sanguinis
|
a. Sifat dasar:
periang, optimis, percaya diri
b. Sifat perasannya:
mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang dapat
dipercaya karena kurang begitu konsekuen
|
2. Melankolis
|
a. Sifat dasar:
pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri
b. Sifat lainnya:
merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri, berhati-hati,
konsekuen, dan suka menepati janji
|
3. Koleris
|
a. Sifat dasar:
selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif, dan agresif
b. Sifat lainnya:
mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah,
tidak sabaran, tidak toleran, kurang memiliki rasa homor, cenderung
beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha)
|
4. Plegmatis
|
a. Sifat dasar:
pendiam, tenang, netral (tidak ada aura perasaan), stabil
b. Sifat lainnya:
merasa cukup puas, tidak peduli (acuh tak acuh), dingin hati (tidak mudah
haru), pasif, tidak mempunyai banyak minat, bersifat lambat, sangat hemat,
dan tertib/teratur
|
- 2. Faktor Lingkungan (environment)
Faktor lingkungan mempengaruhi
kepribadian adalah: keluarga, kebudayaan, dan sekolah.
- a. Keluarga
Keluarga dipandang sebagai faktor
penentu utama terhadap kepribadian anak. Alasannya adalah (1) keluarga
merupakan kelompok sosial pertama yang menjadi pusat identifikasi anak, (2)
anak banyak menghabiskan waktunya di lingkungan keluarga, dan (3) para anggota
keluarga merupakan “significant others” bagi pembentukan kepribadian
anak.
Keluarga dipandang sebagai suatu
lembaga atau unit yang dapat memenuhi kebutuhan individu, terutama kebutuhan
pengembangkan kepribadian dan pengembangan ras manusia. Melalui perlakuan dan
pengasuhan yang baik oleh orangtua anak dapat memenuhi kebutuhannya, baik
fisik-biologis, maupun sosiopsikologisnya. Jika anak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka dia cenderung berkembang menjadi seorang
pribadi yang sehat.
Perlakuan orangtua dengan penuh
kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan baik agama maupun
sosial-budaya merupakan faktor kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi
pribadi dan warga masyarakat yang sehat dan produktif.
Iklim keluarga sangat penting bagi
perkembangan kepribadian anak. Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang harmonis dan agamis yaitu yang dapat memberikan curahan kasih
sayang, perhatian, dan bimbingan dalam beragama, maka perkembangan kepribadian
anak cenderung positif, sehat (welladjusted). Sebaliknya anak yang
dibawa pengasuhan lingkungan keluarga broken home, kurang harmonis,
orangtua bersikap keras, kurang memperhatikan nilai-nilai agama, maka
perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami
kelainan dalam menyesuaikan diri (maladjusted).
Dorothy Law Nolte (Hurlock, 1978:
Yusuf, 2002), menggambarkan pengaruh keluarga terhadap perkembangan kepribadian
anak sebagai berikut:
“ Jika anak dibesarkan dengan
celaan, ia belajar memaki”
“ Jika anak dibesarkan dengan
permusuhan, ia belajar berkelahi”
“ Jika anak dibesarkan dengan
cemoohan, ia belajar rendah diri”
“ Jika anak dibesarkan dengan
penghinaan, ia belajar menyesali diri”
“ Jika anak dibesarkan dengan
toleransi, ia belajar menahan diri”
“ Jika anak dibesarkan dengan
dorongan, ia belajar percaya diri”
“ Jika anak dibesarkan dengan
pujian, ia belajar menghargai”
“ Jika anak dibesarkan dengan
sebaik-baik perlakukan, ia belajar keadilan”
“ Jika anak dibesarkan dengan
dukungan, ia belajar menyenangi dirinya”
“ Jika anak dibesarkan dengan kasih
sayang, ia belajar menemukan cinta”
Demikian Baldwin, dkk (Yusuf, 2002)
mengemukakan temuan penelitiannya bahwa anak yang dikembangkan dalam iklim
pengasuhan demokratis, maka ia cenderung memiliki kepribadian lebih aktif,
lebih bersikap sosial, lebih memiliki harga diri (percaya diri), lebih memiliki
keinginan dalam bidang intelektual, lebih orisinil, dan lebih konstruktif
dibandingkan dengan anak yang dibesarkan dalam iklim otoriter.
Schaefer (Yusuf, 2002)
mengkombinasikan pola tingkah laku ibu terhadap anak antara love (cinta
kasih sayang) atau hostility (permusuhan), dan control atau autonomy.
Kombinasi pola perlakuan ibu digambarkan bagian berikut:
- b. Kebudayaan
Kluckhohn berpendapat bahwa
“kebudayaan meregulasi kehidupan kita sejak lahir sampai mati, baik disadari maupun
tidak yang mempengaruhi kita untuk mengikuti pola-pola perilaku tertentu yang
telah dibuat orang lain untuk kita”.
Pola-pola perilaku yang sudah
terkembangkan dalam masyarakat (bangsa) tertentu (seperti bentuk adat istiadat)
sangat memungkinkan mereka untuk memiliki karakteristik kepribadian tertentu
yang sama. Kesamaan karakteristik ini mendorong berkembangnya konsep
kepribadian dasar (Kardiner: Yusuf, 2002) dan karakter nasional atau bangsa
(Gorer: Yusuf, 2002).
Berikut contoh tipe kepribadian suku
Indiana Maya dan Alorese. Suku Indiana memiliki karakteristik: rajin, kurang
peka terhadap penderitaan, fatalistik, tidak takut mati, independen namun tidak
kompetitif, tidak demonstratif dalam mengekspresikan perasaan, dan jujur.
Sementara suku Alorese berkarakteristik: cemas, curiga, kurang percaya diri,
kurang berminat ke dunia luar, sangat membutuhkan dorongan kasih sayang, kurang
memiliki dorongan untuk mengembangkan keterampilan, dan suka mengkompensasi
perasaan rendah dirinya dengan membuat dan membangga-banggakan diri.
Setiap bangsa di dunia memiliki
kepribadian dasar yang relatif berbeda, sebagaimana bangsa Indonesia memiliki
kepribadian dasar: religius, ramah, kurang disiplin, bangsa Jepang: ulet,
kreatif, dan disiplin; dan bangsa Amerika: optimis, perspektif, disiplin, ulet
dalam menyelesaikan sesuatu, namun individualistik.
Pentingnya peranan kebudayaan
terhadap perkembangan kepribadian seseorang tergantung pada tiga prinsip di
antaranya: (a) pengalaman awal dalam kehidupan dalam keluarga, (b) pola asuh
orangtua terhadap anak, dan (c) pengalaman awal dalam kehidupan anak dalam
masyarakat. Jika anak-anak memiliki pengalaman awal kehidupan yang sama dalam
suatu masyarakat maka mereka cenderung akan memiliki karakteristik kepribadian
yang sama pula.
- c. Sekolah
Lingkungan sekolah dapat
mempengaruhi kepribadian anak. Faktor yang dipandang berpengaruh itu di
antaranya adalah:
1) Iklim emosional
kelas
Suasana kelas yang sehat (guru yang
ramah, respek antar siswa) memberi dampak posif bagi perkembangan psikis anak,
mereka menjadi aman, nyaman, bahagia, mau bekerjasama, termotivasi untuk
belajar, mau mentaati peraturan. Sebaliknya kelas yang tidak sejuk (guru
bersikap otoriter, tidak menghargai siswa) berdampak kurang baik bagi
perkembangan anak, mereka merasa tegang, nervous, mudah marah, malas belajar,
berperilaku mengganggu di kelas, tidak tertib.
2) Sikap dan
perilaku guru
Sikap dan perilaku guru tercermin
dalam hubungannya dengan siswa (human relationship). Hubungan guru-siswa
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: strerotip budaya terhadap guru
(pribadi dan profesi), positif atau negatif, sikap dan pola pembimbingan guru
terhadap siswa, metode mengajar, penegakan disiplin di kelas, dan penyesuaian
pribadi guru. Sikap dan perilaku guru secara langsung mempengaruhi “self-concept”
siswa, melalui sikap-sikapnya terhadap tugas akademik (kesungguhan dalam
mengajar), kedisiplinan dalam mentaati peraturan sekolah, dan perhatiannya
terhadap siswa. Secara tidak langsung, pengaruh guru ini terkait dengan
upayanya membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan penyesuaian sosialnya.
3) Disiplin
Penegakan tata tertib di lingkungan
sekolah akan membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Disiplin yang kaku akan
mengembangkan sifat-sifat pribadi siswa yang tegang, nervous, dan antagonistik.
Disiplin yang bebas, cenderung membentuk sifat siswa yang kurang
bertanggungjawab, kurang menghargai otoritas, dan egosentris. Sementara
disiplin yang demokratis, cenderung mengembangkan perasaan berharga, merasa
bahagia, perasaan tenang, dan sikap bekerjasama.
4) Prestasi
Belajar
Pencapaian prestasi belajar atau
peringkat kelas mempengaruhi peningkatan harga diri dan sikap percaya diri
siswa
5) Penerimaan
Teman Sebaya
Siswa yang diterima oleh
teman-temannya, ia akan mengembangkan sikap positif terhadap dirinya, dan juga
orang lain. Ia merasa menjadi orang yang berharga.
F.
Karakteristik Kepribadian
Salah satu kata kunci dan definisi
kepribadian adalah “penyesuaian (adjustment)”. Menurut Alexander A. Schneiders
(1964), penyesuaian
itu dapat diartikan sebagai “Suatu
proses respon individu, baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya
mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, tegangan emosional, frustasi dan
konflik; dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan
tuntutan (norma) lingkungan”.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan atau
memecahkan masalah yang dihadapi, ternyata tidak semua individu mampu
menampilkannya secara wajar, normal atau sehat (well adjustment); di
antara mereka banyak juga yang mengalaminya secara tidak sehat (maladjustment).
E.B. Hurlock (1987) mengemukakan
bahwa penyesuaian yang sehat atau kepribadian yang sehat (healty personality)
ditandai dengan karakteristik sebagai berikut.
1. Mampu
menilai diri secara realistik. Individu yang berkepribadian sehat mampu
menilai dirinya sebagaimana apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangan atau
kelemahannya, yang menyangkut fisik (postur tubuh, wajah, keutuhan, dan
kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan, dan keterampilan).
2. Mampu
menilai situasi secara realistik. Individu dapat menghadapi situasi atau
kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerimanya secara
wajar. Dia tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus
sempurna.
3.
Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik. Individu dapat
menilai prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistik dan
mereaksinya secara rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami “
superiority complex”, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau
kesuksesan dalam hidupnya. Apabila mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya
dengan frustasi, tetapi dengan sikap optimistik (penuh harapan).
4. Menerima
tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung jawab.
Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah
kehidupan yang dihadapinya.
5. Kemandirian
(autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam berpikir dan bertindak,
mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta
menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
6. Dapat
mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat
menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau
konstruktif, tidak destruktif (merusak).
7. Berorientasi
tujuan. Setiap orang memiliki tujuan yang ingin dicapainya. Namun, dalam
merumuskan tujuan itu ada yang realistik ada yang tidak realistik. Individu
yang sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan
secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya
untuk mencapai tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan,
perilaku) dan keterampilan.
8. Berorientasi
keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi keluar (ekstrovert).
Dia bersifat respek, empati terhadap orang lain mempunyai kepedulian terhadap
situasi, atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam
berpikirnya. Barret Leonard mengemukakan sifat-sifat individu yang berorientasi
keluar, yaitu (a) menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri;
(b) merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain; (c) tidak membiarkan dirinya
dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan tidak mengorbankan orang lain
karena kekecewaan dirinya.
9. Penerimaan
sosial. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi aktif
dalam kegiatan sosial, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan
orang lain.
10. Memiliki
filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang
berakar dari agama, keyakinan, way of life yang dianutnya.
11. Berbahagia.
Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan. Kebahagiaan ini
didukung oleh faktor-faktor achievment (pencapaian prestasi), acceptance
(penerimaan dari orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau
disayangi orang lain).
Berikut ini karakteristik
kepribadian yang tidak sehat:
- Mudah marah (tersinggung), panik
- Menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan berlebihan
- Sering merasa tertekan (stres dan dipresi)
- Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang umurnya lebih muda atau terhadap binatang (sikap intimidasi)
- Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang sekalipun sudah diperingatkan atau dihukum
- Mempunyai kebiasaan berbohong, berdusta
- Hiperaktif
- Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
- Senang mengkritik/mencemooh orang lain
10. Sulit tidur
11. Kurang memiliki rasa
tanggungjawab
12. Sering mengalami pusing kepala
(meskipun penyebabnya bukan bersifat fisiologis)
13. Kurang memiliki kesadaran untuk
mentaati ajaran agama
14. Bersikap pesimis dalam
menghadapi kehidupan
15. Kurang bergairan dalam kehidupan
(“loyo”)
Kelainan perilaku di atas berkembang
bilamana anak hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif dalam perkembangannya.
Misalnya, lingkungan keluarga yang kurang berfungsi (disfunctional family)
bercirikan “broken home”, hubungan antar anggota keluarga kurang
harmonis, kurang menjunjung nilai-nilai agama, orangtua bersikap keras atau
kurang memberikan perhatian dengan kasih sayang kepada putra-putrinya.
Berkembangnya kelainan kepribadian
pada umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang kurang baik, maka upaya
pencegahan seyogyanya dilakukan oleh pihak keluarga, sekolah, dan pemerintah
bekerja sama untuk menciptakan iklim lingkungan yang memfasilitasi atau
memberikan kemudahan kepada anak untuk mengembangkan potensi atau tugas-tugas
perkembangannya secara optimal, baik menyangkut fisik, psikis, sosial, dan
moral-spiritual.
G. Aplikasi
Psikologi Kepribadian
Teori psikologi kepribadian
sebagaimana di sebut di atas aplikasinya dalam bidang organisasi, leadership,
pendidikan, konseling dan psikoterapi adalah:
- 1. Psikologi Organisasi
Seting organisasi di lingkungan
industri dan lingkungan sekolah, rumah sakit, militer dan olah raga. Psikologi
kepribadian berusaha untuk memperoleh keseimbangan antara keefektivan
organisasi dengan kepuasan anggotanya, membantu pemecahan problem anggota dan
motivasi kelompok. Pakar kepribadian banyak mengaplikasikan perspektif
lingkungan yang menekankan saling ketergantungan antara individu dengan
organisasi. Aplikasi psikologi organisasi di dunia persekolahan dibutuhkan
kehadiran pemimpin yang berpotensi mengayomi anggota, berperilaku jujur, kasih
sayang kepada sesama, perhatian, terbuka, disiplin, bertanggungjawab, kreatif,
menantang terhadap peluang perkembangan, dan sebagainya.
- 2. Psikologi Konseling
Senada dengan psikologi klinik,
psikologi konseling menangani gangguan tingkah laku yang ringan, penderita masih
dapat melakukan tugas sehari-hari dengan baik, bekerja dan atau berkomunikasi
layaknya orang normal. Konselor memberi bantuan kepada konseli memilih jurusan
dan karir masa depan, menangani hambatan penyesuaian dalam kaitannya dengan
belajar, sosial, pekerjaan, perkawinan, dan kondisi fisik.
- 3. Psikologi Pendidikan
Psikologi kepribadian membantu
mengembangkan kepribadian guru, mengenali kepribadian peserta didik dan
memanfaatkannya untuk mengoptimalkan prestasi pendidikan, melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap kebutuhan sekolah dengan tuntutan masyarakat.
H. Evaluasi
- 1. Refleksi Diri
Setelah mengkaji latar psikologi
kepribadian, pola-pola kepribadian, faktor pembentuk kepribadian, karakteristik
kepribadian, dan aplikasinya maka peserta diharapkan merefleksi pengalaman diri
dalam kehidupan dan kinerja profesionalitasnya untuk menyelesaikan tugas
berikut:
- Menemukan instisari kepribadian menurut pemahaman bahasa sendiri!
- Temukenalilah karakter/watak/temperamen/trait pribadi anda yang positif dan negatif!
- Temukenalilah faktor penyebab pembetukan pribadi positif dan/atau negatif anda!
- Temukenalilah karakter pribadi anda yang cocok menggambarkan profil manajer pendidikan di SMA/MA.
- 2. Latihan Gambaran Diri
Hasil refleksi diri digunakan
sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam latihan berikut.
Tujuan latihan adalah mengenali profil diri menurut pandangan diri sendiri
dan penilaian orang lain.
Latihan Dalam Kelompok
- Bentuklah kelompok kecil 5-6 orang
- Tugas setiap peserta mengumpulkan karakter/watak/temperamen/trait anda menurut penilaian teman-teman sebanyak 25 yang berbeda dalam waktu 5 menit. Ambil selembar kertas dan balpoin, catatlah karakter anda menurut teman.
- Cocokkan hasil penilaian teman dengan penilaian diri anda
- Temukan berapa banyak karakter/watak/temperamen/trait yang sama dan berbeda nilai antara diri dan penilaian teman.
- Interpretasikan temuan pada nomor 4. Caranya mengelompokkan penilaian yang sama dan penilaian yang berbeda. Selanjutnya simpulkan sendiri bahwa anda cenderung berkepribadian seperti apa!